Sabtu, 13 Agustus 2022

RAJA BAGINDO, SEORANG ULAMA MINANGKABAU YANG MENDIRIKAN CIKAL-BAKAL KESULTANAN SULU DI FILIPINA SELATAN PADA AKHIR ABAD KE-14.

 Raja Bagindo Ali (ejaan Filipina: Rajah Baguinda Ali) datang ke Sulu pada tahun 1390. Kedatangannya melanjutkan dakwah Islam yang telah dirintis oleh seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makhdum. Selain ke Sulu, Raja Bagindo juga mengembara ke Brunei, Serawak, dan Sabah. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.
Sekitar tahun 1450, seorang Arab dari Johor yaitu Sharif ul-Hashim Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli, Paramisuli adalah putri dari Raja Bagindo. Setelah Raja Bagindo meninggal, Sharif ul-Hashim Syed Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada tahun 1457, menantunya itu memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr". Gelar "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud Yang Dipertuan.
Penduduk asli Pulau Sulu adalah Suku Bajau, Banguingui, dan Suluk (Tausug), yang bahasa daerahnya campuran Bahasa Melayu dan Tagalog. Namun, komunitas yang paling banyak bermukim di pulau tersebut adalah bangsa Moro, yakni komunitas muslim dari selatan Filipina.
Hingga kini, makam Raja Bagindo masih bisa ditemukan di Sulu dan terawat dengan baik. Walaupun tidak semua orang Sulu adalah keturunan orang Minang dan Arab tapi makanan khas di daerah kepulauan itupun hampir mirip dengan makanan Minang dan Arab seperti rendang, sate dan kari.


Sumber:
- https://alchetron.com/Islam-in-the-Philippines
- https://www.batamnews.co.id/berita-12829--kivlan-zen-dan-nenek-moyang-orang-sulu-yang-berasal-dari-minangkabau.html
- Foto: Tulay Mosque (Masjid Tulay), masjid di Kota Jolo, Provinsi Sulu: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tulay_Mosque.jpg

Rabu, 10 Agustus 2022

USMAR ISMAIL; BAPAK FILM INDONESIA DAN PELOPOR DRAMA MODERN DI INDONESIA

 Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 20 Maret 1921 dan meninggal pada tanggal 2 Januari 1971. Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan ibunya, Siti Fatimah . Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.
Perjalanan pendidikannya cukup mulus. Mula-mula ia bersekolah di HIS (sekolah dasar) di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO (SMP) di Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS (SMA) di Yogyakarta. Setamat dari AMS, ia melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.
Usmar Ismail mendirikan Perfini (Pusat Film Nasional Indonesia) dan pada 30 Maret 1950 memulai shooting pertama filmnya, “Darah dan Doa” di Purwakarta. Tanggal 30 Maret kemudian ditetapkan sebagai “Hari Film Nasional”. Selama hidupnya, antara tahun 1950-1970, Usmar Ismail membuat 33 film layar lebar: drama (13 film), komedi atau satire (9 film), aksi (7 film), musical/entertainment (4).
Film pertama yang diproduksi di Indonesia memang bukan karya Sang Bapak Perfilman Nasional ini. Seperti yang diketahui dalam sejarah perfilman nasional, “Loetoeng Kasaroeng” produksi Java Film Company yang digarap “orang-orang Belanda”.
Namun tak hanya berkarya dalam dunia sastra, Usmar Ismail juga pernah menempuh karir militer dan jurnalistik. Ia pernah menjalani dinas sebagai tentara hingga berpangkat Mayor, menjadi wartawan politik untuk Kantor Berita Antara Jakarta, serta mendirikan beberapa surat kabar. Dalam menjalani karirnya sebagai wartawan politik, ia dipenjarakan oleh Belanda selama setahun atas tuduhan melakukan subversi. Setelah bebas dari penjara, barulah ia menaruh minat penuh terhadap dunia perfilman dan memutuskan untuk terjun ke dalamnya.
Film-film yang pernah disutradarai oleh Usmar Ismail, antara lain, “Darah dan Doa” (1950), “Enam jam di Yogya” (1951), “Dosa Tak Berampun” (1951), “Krisis” (1953), “Kafedo” (1953) “Lewat Jam malam” (1954), “Tiga Dara” (1955), dan “Pejuang” (1960). Untuk mengenang jasanya, diabdikanlah namanya di sebuah gedung perfilman,  yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.

Sumber:
- http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/usmar-ismail
- https://historia.id/kultur/articles/kisah-tragis-akhir-hidup-bapak-film-nasional-DAlZw
- https://studioantelope.com/mengenal-usmar-ismail-bapak-perfilman-indonesia-dan-karyanya/

Jumat, 05 Agustus 2022

MOHAMMAD KOSIM AMAK SYAHBANDAR, SANG PENDEKAR YANG ANTI VOC

 Silat Syahbandar di Indonesia dikenal dengan banyak sebutan, diantaranya “Gerak Sabandar, Gerak Panca Tunggak, Jurus Lima “. Silat Syahbandar saat ini menjadi dasar atau aliran dari berbagai Perguruan Pencak Silat di Indonesia.
Silat Syahbandar berawal dari seorang Pendekar Silat Pagaruyung, yaitu Mohammad Kosim Amak Syahbandar (Ama Syahbandar, atau dikenal dengan Eyang Syahbandar) yang di lahirkan pada tahun 1766 di Pagaruyung (Minangkabau) atau Kabupaten Tanah Datar saat ini.
Dalam silat Minang terdapat aliran silat tenaga dalam atau yang disebut dengan istilah tenaga batin, atau dikenal dengan nama Ilmu Gayung. Ilmu Gayung ada dua jenis yaitu Gayung Lahir (gayung basambuik/ bersambut) dan Gayung Batin (gayung tak bersambut).
Ama Syahbandar memulai petualangannya ke Tanah Jawa yang pada awalnya singgah dan menetap untuk sementara waktu di sebuah pelabuhan di Batavia. Kemungkinan pelabuhan tersebut, yang kini dikenal dengan nama Pelabuhan Tanjung Priok. Di tempat ini, Ama Syahbandar terlibat pertikaian dengan seorang pejabat VOC yang bertugas mengawasi daerah pelabuhan dan sekitarnya.
Berkat ilmu silat yang dikuasainya, Ama Syahbandar dapat menghabisi si pejabat VOC hanya dalam satu kali gerakan. Hal ini tentu saja mengundang kemarahan Belanda. Dan, Ama Syahbandar pun akhirnya menjadi sasaran penangkapan Belanda.
Akibat peristiwa itu, Ama Syahbandar menjadi tokoh yang ditakuti dan disegani oleh penduduk sekitar. Karena pengaruhnya yang besar, Ama Syahbandar akhirnya berhasil menguasai kawasan pelabuhan, dan berhak menyandang gelar Syahbandar.
Dari Batavia, Ama Syahbandar melanjutkan perjalanannya ke daerah Cianjur. Di tempat ini kemudian mengajarkan ilmu bela diri kepada masyarakat setempat. Banyak di antara penduduk Cianjur, terutama kaum muda, yang menjadi pengikut setia ajaran Syahbandar. Maka tak heran, setelah wafatnya Ama Syahbandar, di daerah Cianjur terdapat beberapa petilasan sebagai bentuk penghormatan dari para pengikut setia ajarannya.
Dari Cianjur, Ama Syahbandar sempat bermukim di Sindangkasih. Kemudian pindah ke Wanayasa. Menurut sumber-sumber di Wanayasa, hal ini karena mengikuti ajakan sahabatnya yang juga dikenal sebagai ahli silat, yakni Raden Jibja. Bahkan akhirnya Ama Syahbandar menikah dengan adik Raden Jibja, yakni Nyi Raden Kendan (Eyang Bubu).
Tidak diketahui, kapan persisnya tokoh Syahbandar ini mulai menjejakkan kakinya di Wanayasa. Namun yang pasti, di daerah ini pun banyak penduduk yang berguru kepada Ama Syahbandar.
Ajaran silat Syahbandar tidak hanya terdapat di Wanayasa atau daerah Cianjur, melainkan menyebar dan berkembang ke daerah lain di Jawa Barat. Beberapa hal yang menjadi ciri khas ajaran Syahbandar ini di antaranya adalah adanya Persilatan Jurus Lima alias gaya Syahbandar. Jurus ini dikenal dengan beberapa nama, antara lain: Lengkah Opat (Langkah Empat), Leumpang Lima (Jalan Lima), Gerak Opat Kalima Pancer, Gerak Asror, Gerak Panca Tunggal, dan lain-lain.
Meski terkesan sederhana, gaya silat Syahbandar ini terbilang cukup unik. Dikatakan unik karena selain relatif mudah untuk dipelajari, jurus Syahbandar ini ternyata mampu menjaga orisinalitasnya dari pengaruh-pengaruh aliran silat yang lain, terutama di Wanayasa. Keunikan tersebut, menurut para pengikut ajaran Syahbandar di Wanayasa biasa, disebut dengan istilah Ulin Wanayasa. Tentu saja, Ulin Wanayasa ini sulit ditemukan di daerah lain, karena diciptakan Ama Syahbandar ketika dia sudah bermukim di Wanayasa.
Di Wanayasa, Ama Syahbandar mempunyai banyak murid, di antaranya Ama Wekling. Disebut Ama Wekling, karena jabatannya saat itu adalah mantri guru, yang disebut 'wekling' dalam bahasa Belanda. Namanya, menurut salah seorang keturunannya dari Sagalaherang, adalah Raden Subrata.
Ama Syahbandar meninggal dunia di Wanayasa dalam usia 114 tahun, yakni pada tahun 1880. Jasadnya dimakamkan berdampingan dengan istrinya Eyang Bubu.
Makam Syahbandar berada di kompleks pemakaman umum di sebelah barat daya pasar domba Desa Wanayasa, Berbeda dengan makam-makam tokoh sejarah lainnya, makam Ama Syahbandar sudah ditembok dan di keramik bagian pinggirnya. Selain itu tak jarang lokasi ini menjadi tempat ziarah terutama mereka yang kini masih melestarikan seni bela diri pencak silat.


Sumber:
- https://daerah.sindonews.com/artikel/jabar/5037/eyang-syahbandar-pendekar-asal-pagaruyung-yang-disegani-di-tatar-pasundan?
- https://www.indosport.com/multisport/20150712/5-aliran-pencak-silat-di-indonesia-jilid-i/silat-minang-syahbandar

TUGU GUGUAK MALINTANG

Tugu ini pernah berdiri di Guguak Malintang, Padang Panjang. Peristiwa: Di penghujung Februari 1841 para pejuang masyarakat Minangkabau meny...